
LAMPUNG — Ketua Umum Angkatan Muda Badik Lampung (AMBL) Kolonel Purn Sukardiansyah mengecam keras atas pernyataan Kepala Dinas Kesbanglinmas Mesuji Taufik Widodo yang asal bicara tanpa memperhatikan perasaan Suku Lampung dan kearifan lokal.
“Sejak kapan Suku Lampung tidak memiliki tanah hak ulayat adat?” Para Tokoh Adat Suku Lampung dan segenap masyarakat Suku Lampung sangat merasa terhina atas pernyataan ini seolah-olah Suku Lampung sudah dijajah di negara Indonesia dan menjadi suku tersingkir.
Pemberian Izin Sebelum Program Transmigrasi
“Kami Suku Lampung juga membutuhkan ruang hidup dan lahan pertanian agar kami bisa hidup sejahtera. Kami masyarakat Suku Lampung meminta kepada Gubernur Lampung dan Bupati Mesuji untuk menindak pejabat yang sudah menyakiti hati kami Suku Lampung, atau kami yang akan menindaknya sendiri,” kata Ketua Umum AMBL.
Pencerahan dari Tokoh Hukum Adat dan Hukum Agraria
Tokoh Hukum Adat dan Hukum Agraria Bapak Lukman Basri, Alumni STIA LANRI tahun 1982 memberikan pencerahan sebagai berikut. “Menjawab ini sangat sederhana, apa yang diceritakan ‘di Lampung tidak ada tanah adat’. Terlalu tendensius, tidak merujuk kepada fakta sejarah bahwa demografi dan geografi Bumi Lampung yang hadir sejak dahulu kala.”
Ini penjelasannya tentang Tanah Adat di Lampung
1. Ulun/Suku Lampung punya; Tanah air namanya _Bumi Lampung_; punya adat-istiadat budaya, dan peradaban namanya _Bangsa Lampung_, dan _Bahasa Lampung_. Kemajuan dari peradaban tercermin adanya aksara Lampung, menunjukkan kemajuan peradaban suatu bangsa dan Lampung ada di dalamnya. Sejak abad ke-4 Masehi sudah berdiri Keratuan Belalau/Kuala Sakha, Keratuan Pemanggilan, Keratuan Dipuncak, dan Keratuan Pugung serta Keratuan Balau. Banyak tercatat kunjungan utusan ke Cina untuk menjalin perdagangan.
2. Ulun/Suku Lampung terhimpun dalam komunitas _Sang Bumi Khua Jukhai_ sebagai pemilik Bumi Lampung. Hidup makmur karena menghuni bumi yang luas hampir 35.000 km², dan populasi sangat jarang. Pemukiman Ulun Lampung dari hulu sungai (Pepadun), dan hilir (Pesisir/Saibatin). Kehidupan Sang Bumi Khua Jukhai dirumuskan sekitar abad XVI (akhir 1680-an). Sentra pemukiman terkelompok homogin berdasarkan asas geneologi patrilineal, disebut “buay”. Semakin berkembangnya buay, maka lahir komunitas disebut “tiyuh” dan akhirnya _peniyuhan_.
3. Setelah berdirinya Kesultanan Banten Maulana Hasanuddin (1552-1570), maka terjadi persahabatan antara Ulun Lampung, _bela pati_. Lampung tidak pernah dijajah atau menjadi vasal Kesultanan Banten. Hubungan kedua entitas adalah hubungan saling membangun perekonomian, khususnya perdagangan lada. Kesultanan Banten mengajak Ulun Lampung agar setiap cacah jiwa menanam lada sebanyak 500 batang/jiwa demi memenuhi permintaan pasar. Ajakan Sultan sukses dan menjadikan Ulun Lampung kaya raya dan terkenal sebagai _Lamphong Black Pepper_.
4. Kesultanan Banten tahun 1813 mengalami keruntuhan, dihancurkan oleh Indie, dan wilayahnya diambil secara paksa, _domein vanden staat_. Banten dijadikan residensi langsung di bawah Gubernur Jenderal Batavia, dan Lampung menjadi distrik di bawah Batavia, sesuai perjanjian Sultan Haji yang menang mengalahkan ayah kandung, Sultan Ageng Tirtayasa (1682). Bumi Lampung sejak 1829 ditingkatkan menjadi karesidenan langsung di bawah Batavia.
5. Indie mulai melakukan investasi dan eksploitasi Bumi Lampung untuk perkebunan _monocultuur stelsel_ karena kondisi Bumi Lampung, geografi, dan topografi sama dengan tanah di Banten. Seperti wilayah Lampung juga mengalir lima sungai besar; Way Semaka, Way Sekampung, Way Seputih, Way Tulang Bawang, dan Way Mesuji. Karena itu rencana penamaan perkebunan wilayah Lampung, disebut juga _Cultuuronderneming WAYLIMA_. Seperti nama perkebunan di Banten; Ciragil, Cibanten, Cik, Cikopo, dan lain-lain.
6. Untuk merealisasikan butir 5 di atas, maka guna menjamin kepastian hukum tanah bagi para investor asing/Barat melakukan investasi di tanah Indie. Lahirlah _Agrarische Wet 1870_ dan _Agrarische Besluit 1870_ sebagai pedomannya. Seperti diketahui bahwa Indie menguasai tanah di Nusantara melalui dua cara, _domein verklaring_ dan _domein vanden staat_. Cara terakhir adalah tanah _particuliere_ pemindahan hak dari Indie ke particulieren. Perkebunan pertama di Lampung adalah Perkebunan Kopi di Kedondong Way Lima tahun 1889 di atas tanah hak erfpacht sekitar 3.700 ha (1889 dan hak berakhir 1966). Setelah tenor waktu hak berakhir, seharusnya melalui Pemda Lampung terlebih dahulu.
7. Indie setelah menerapkan IGOB/1938 melakukan politik pertanahan secara “licik” dengan menerapkan kartografi (peta wilayah Lampung) _Marga Inndeling Lampongsche Districten_ menjadi 62 marga sebagai wilayah geografi. Menggabungkan istilah marga dan buay yang masih menjadi perdebatan masyarakat adat. Masyarakat adat lebih menitikberatkan stelsel buay yang berasaskan demografi, sedangkan Indie menitikberatkan stelsel marga yang berasaskan geografi lebih menitikberatkan kewilayahan. Melahirkan DAS, register hutan menjadi beberapa tingkatan, hingga saat ini kartografi masih menjadi rujukan. Akibat tidak kesefahaman, maka melahirkan konflik pertanahan di Lampung yang hingga kini belum ada solusi yang solutif penyelesaian.
8. Indonesia baru merdeka dan berpedoman pada UUD 1945 yang berlaku tanggal 18 Agustus 1945. Derivasi pertanahan melahirkan UU No. 5/1960 tentang Pertanahan, menempatkan tanah adat lebih tinggi kedudukannya dari tanah bersertifikat ad hoc hukum Barat. Sayang belum melahirkan derivasi, pedoman lebih lanjut sesuai amanat UU.
9. Jadi wilayah Indonesia adalah tanah milik adat dan kesultanan yang secara sukarela menyerahkan ke NKRI; dan semua wilayah yang menjadi koloni Indie. Wilayah NKRI sebagai negara kepulauan telah diakui pula secara internasional melalui UNO dalam statuta UNCLOS/1982.
10. “Kalau ada komentar seberang tentang tanah adat, berarti anti-Pancasila, karena kita memang berbeda SARA tetapi dalam satu bingkai Persatuan Indonesia, dalam satu wilayah NKRI yang mendapat pengakuan UNCLOS/1982,” kata Lukman Basri. (Relis).